Menyajikan Teh, Tradisi Penenang Jiwa

Baca Menyajikan Teh, Tradisi Penenang Jiwa berikut ini ...

Presiden Yudhoyono perlahan mengangkat secangkir teh hijau yang dihidangkan Grand Master Urasenke, Genshitsu Sen. Setelah minum dan mengucapkan "Arigato" (terima kasih), Yudhoyono dan kedua pengundang itu membungkuk, saling memberi hormat. "Kami mengucapkan terima kasih kepada Presiden dan Ibu Negara, yang berkenan hadir. Ini sebuah kehormatan besar buat kami," ujar Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Koijiro Shiojiri, dalam perayaan emas persahabatan Indonesia-Jepang, Selasa dua pekan lalu.


Secangkir teh itu hidangan khusus bagi orang tertentu yang dijamu sebagai bentuk penghormatan. Saling menghormati memang merupakan falsafah tradisi minum teh atau chanoyu yang berkembang di Jepang.


Tradisi ini melahirkan banyak aliran. Salah satunya adalah Urasenke, yang berkembang di Kyoto selama ratusan tahun. Dari Kyoto, aliran minum teh ini menyebar juga ke Singapura dan Jakarta melalui Pusat Kebudayaan Jepang, The Japan Foundation. Di Jakarta, Komunitas Urasenke ada di Tomang. Jumlah anggotanya 40 orang, terdiri atas warga Indonesia dan Jepang.


Wenny Sarika, warga Indonesia, adalah salah satu peminat tradisi minum teh itu. Perempuan 23 tahun yang baru lulus Institut Bisnis Indonesia itu mempelajari tradisi ini hampir empat bulan lalu lantaran tertarik pada falsafah chanoyu. "Antarmanusia tak ada yang lebih tinggi atau rendah di mata Yang Mahakuasa," ujar Wenny di Japan Foundation, Jakarta Selatan, Selasa lalu.


Falsafah ini tecermin dalam larangan ketika mengikuti upacara. "Dalam upacara, tak boleh pakai perhiasan," ujar Wenny. Larangan ini penegas konsep egalitarian.


Sani Soendoro, pengajar chanoyu di Japan Foundation, menceritakan,

awalnya tradisi ini adalah kebiasaan para biksu Jepang yang dibawa sepulang belajar di biara Cina, dalam penyebaran Zen Buddha. Dari para biksu itu diperoleh cara meramu, mencuci cawan, hingga minum teh hijau bubuk.


Proses itu tak sekadar rangkaian kegiatan. Semuanya dilakukan sebagai bagian dari meditasi yang menenangkan jiwa. Bau teh seduh yang tajam berefek seperti terapi aroma dan diyakini dapat menyehatkan, meski ramuannya terasa lebih pahit daripada teh biasa.


Para biksu menyebarkan kebiasaan minum teh ini ke kalangan istana sebagai cara menghormati para tamu. Biksu-biksu yang lain menyebarkan ke masyarakat desa. "Ini melambangkan kesederhanaan," ujar Sani, yang bernama asli Kikuko Sakakibara.


Tradisi selama 400 tahun itu kemudian berkembang menjadi tata krama yang tak hanya menyajikan dan minum teh, "Tapi juga memahami kebudayaan, bunga, sastra, sampai keramik," kata Sani.


Meramu teh, dengan segala geraknya, mesti dipelajari. Mulai dari mengambil lap, mengelap cangkir, sampai mencucinya di hadapan tamu merupakan gerakan yang memiliki simbol sebuah penghormatan. Saat bangkit berdiri dan berjalan di atas tatami (sejenis matras) pun sudah menjadi rumus tersendiri. Bahkan motif dan hiasan cangkir untuk minum teh pun mengandung makna tertentu yang harus bisa dijelaskan oleh penyaji kepada tamunya.


Salah satu bentuk penghormatan bisa tampak pada saat penyajian teh. Tuan rumah harus memutar kembang atau gambar di cawan keramik menghadap ke arah tamu sebagai tanda penghormatan kepada tamu. Saat minum teh selesai, giliran sang tamu yang harus memutarnya agar kembang pada cawan menghadap ke arah tuan rumah.


"Tamu perempuan juga harus menghapus bekas lipstik (yang menempel) di cawan itu." Tak ada istilah tamu adalah raja dalam tradisi ini karena tamu dan tuan rumah sederajat. Sehingga, selesai minum pun, baik tamu maupun tuan rumah yang menyajikan akan saling membungkuk.


Saking rumit dan banyaknya pengetahuan yang berhubungan dengan tradisi minum teh ini yang dipelajari, banyak orang yang mempelajarinya sedikitnya 10 tahun. "Setiap detail gerak yang dilakukan memiliki arti," kata Sani. Tapi mereka yang sudah paham filosofi ini tak terlalu sulit untuk mempelajarinya.


Sani mengakui tradisi minum teh yang rumit itu merepotkan orang-orang non-Jepang yang mempelajarinya. Rata-rata, seperti halnya orang Indonesia, mereka belum terbiasa duduk bersimpuh. Apalagi bersimpuh di atas tikar yang permukaannya agak kasar. "Bisa kaku, sakit kakinya," kata Sani sambil tertawa kecil.


Wenny juga merasakan "siksaan" itu. Itu sebabnya lamanya kursus di Japan Foundation cuma sekitar dua jam. Jika kaki sudah pegal, posisi duduk boleh diubah. Ini kemudahan yang mewah bagi orang-orang non-Jepang yang belajar. Sebab, "Kalau aslinya sampai empat jam," ujar Wenny.


Menurut Sani, penggemar tradisi ini perlu belajar terus-menerus. Sani, yang sudah belajar selama 30 tahun, masih merasa perlu berlatih karena manfaat latihan ini membuat jiwanya tenang. Manfaat yang sama juga dirasakan Kiyoe Tanaka, teman Sani. Karena manfaat dan keinginan menghormati tamu, tradisi ini masih terus dilakukan. "Kalau ada tamu datang, di sini (Jakarta) pun sesekali ada upacara," kata Kiyoe, nenek tiga cucu dari dua anak itu.


Sekitar 30 persen siswa-siswi Jepang, kata Kiyoe, mengikuti kursus tata cara minum teh ini di beberapa akademi. Para pemuda yang memang menekuni budaya Jepang malah menjadikannya sebagai mata pencaharian dengan menjadi pengajar tata krama tradisi ini. "Di sana guru-guru kami laki-laki," kata Kiyoe.


Yophiandi

TEMPO Interaktif, Minggu, 31 Agustus 2008 | 09:06 WIB

http://www.tempo.co.id/hg//2008/08/31/brk,20080831-133014,id.html



Itulah, Menyajikan Teh, Tradisi Penenang Jiwa - mudah-mudahan bermanfaat bagi kesehatan kita semua :)

BACA JUGA ARTIKEL LAINNYA: DI SINI

Sumber artikel: facebook/notes/green-tea-lover/menyajikan-teh-tradisi-penenang-jiwa/333086143070

Komentar

Postingan populer dari blog ini